Saengko

Pergelaran kesenian tradisional, dengan nama “SAENGKO” yang menampilikan suatu Pertunjukan Kesenian dan ka ulinan orang sunda, Tempat pelaksaan di Dusun Cilengsar Desa Cigendel Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang, Hari Minggu Tanggal 5 November 2023 Pukul 20:00 WIB, Pergelaran “SAENGKO” mempunyai Pesan Yaitu “ Ngariksa Budaya Piken Nanjerkeun Karahayu Jeng Kawibawaan” yang menjelaskan tentang memeriksa kebudayaan, tujuan Pergelaran ini untuk memperkenalkan budaya-budaya yang sudah ada di Daerah Rancakalong dan memperkenalkan kepada anak-anak muda agar tidak tidak terlena dengan kebudayaan Modern yang mengakibatkan budaya Tradisonal menjadi tidak menarik di mata anak-anak muda saat ini.

Contributor: Farhan Ahmad Fauzi

Taman Benyamin Sueb

Taman Benyamin Sueb merupakan tempat wisata yang dimana wisatawan akan
menemukan peninggalan milik seniman Betawi itu selama hidup dan merintis karier. Gedung ini diresmikan sebagai Taman Benyamin Sueb oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada September 2018. Gedung taman Benyamin Sueb ini berstatus sebagai cagar budaya yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta.

Harapannya, taman ini bisa menjadi pusat kebudayaan
Betawi dan pusat kesenian warga. Di dalam gedung taman Benyamin Sueb ini terdapat berbagai barang milik Benyamin Sueb seperti baju pentas, poster film, piagam, jam tangan, dll. Selain itu ada juga kaset berisi karya Benyamin Sueb, dan foto-foto Benyamin sedari kecil hingga dewasa.
Apabila tertarik berkunjung, Taman Benyamin Sueb dibuka untuk kunjungan umum setiap Selasa hingga Minggu, mulai pukul 09.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Tidak ada biaya tiket yang harus dibayar ketika berkunjung alias gratis. Wisatawan bisa langsung datang dan melapor untuk tujuan kunjungan ke petugas di dekat pintu gerbang masuk.

Lokasinya berada di Jalan Jatinegara Timur Nomor 76, RT 4/RW 3, Rawa Bunga, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, sehingga cukup strategis karena dekat dengan Stasiun Jatinegara. Jaraknya sekitar 450 meter dari arah pintu keluar Stasiun Jatinegara. Wisatawan bisa jalan kaki ke lokasi sekitar enam menit.

Contributor: Dendi Arnando

TARI JAIPONG NYI RONGGENG

Pertunjukan Tari Jaipong Nyi Ronggeng dari Sanggar Arum Sari ini digelar pada tanggal 17 Desember 2023, hari minggu di Pendopo Mundinglaya Institut Seni Budaya Indonesia dalam aacara yang di selenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa ISBI Bandung yang berjudul “Ngaguar Budaya”. Pertunjukan ini ditampilkan pada sore hari berjalan lancar serta luar biasa.
Tari Jaipong Nyi Ronggeng ini pun menurut ahli di pandang sarat dengan anasir-erotisme (sexual signal). Dimana Ronggeng ini merupakan hasil eksplorasi dalam tari Jaipongan. Menurut ahli juga tarian ini menjadi basis inspirasi koreografer kreatif menjadi ragam tari yang memikat. Dalam tari Jaipongan Nyi Ronggeng ini dalam penggerakan lengan, mengayun pinggul dan gerakan kaki yang simetris akan terlihat menjadi penari yang seksi.

Contributor: Clarisa Anggraeni

Reak

Reak merupakan kesenian Cileunyi yang beranggotakan 10 orang yang terdiri atas satu barongan, dua kuda lumping, dan tujuh pemusik. Meski demikian, Reak juga sempat menggunakan angklung sebagai media musiknya. Di area Cileunyi sendiri, sebetulnya terdapat 52 grup Reak, dengan Reak Juarta Putra menjadi yang tertua. Setelah itu, terdapat grup Maska yang terbentuk pada 1970 -1980-an. Grup Maska tersebut memiliki aliran dari Aki Rahma, salah satu pilar seni Reak.

Berdasarkan catatan sejarah, kesenian Reak yang diperkenalkan dan dikembangkan Abah Juarta ini memiliki empat aliran, yaitu Juarta, Rahma, Kurdi, dan Enjoh. Kesenian ini muncul kala Cileunyi dan Cibiru belum tercipta dan masih berada dalam kawasan Ujung Berung. Kesenian Reak ini juga dimeriahkan berbagai alat musik dan sepasang kuda lumping. Untuk membuat suasana semakin ramai dan megah, seperangkat alat musik tabuh yang disebut dogdog menjadi andalan sekaligus ciri khas.

Contributor: Bernadine Zahwa Fitrian

Galah asin dan Engklek

Permainan rakyat galah asin dan engklek merupakan permainan tradisional zaman dahulu yang di mainkan oleh anak anak sebagai hiburan untuk mereka namun pada zaman sekarang permainan ini sudah jarang sekali di lakukan anak anak biasanya banyak menghabiskan waktunya dengan gadget mereka memainkan game yang menarik di gadget mereka sehingga jarang sekali anak anak zaman sekarang yang mengetahui mengenai permainan galah asin
maupun permainan rakyat lainnya.

Galah Asin merupakan kata yang berasal dari “ngajaga ulah ngabulasin” permainan ini membutuhkan pekarangan yang luas untuk memainkannya seperti di lapangan pada permainan galah asin paling sedikit yang memainkannya ialah 4 orang dalam 1 kelompoknya setelah di bagi menjadi dua kelompok para pemain akan suit untuk menentukan siapa yang
menjaga garis , garis depan garis belakang dan garis tengah , pada saat permainan di mulai para pemain harus melewati semua penjaga dan kembali ke garis awal dengan menyebut kata “asin” maka permainan menjadi 1 0
Lalu untuk permainan engklek ini dimainkan oleh di tanah bidang dengan membuat garis lalu para pemain harus mengangkat satu kakinya untuk melanjutkan permainan, permainan akan di anggap kalah bila pemain melempar batu keluar dari garis yang sudah dibuat.

Contributor: Anggiana Nafisa

Tari Paduppa

Tari Paduppa adalah tari tradisional yang berasal dari suku Bugis Makassar di Sulawesi Selatan. Tarian ini merupakan tarian penyambutan tamu yang dibawakan oleh para penari perempuan.

Tari Paduppa dibawakan dengan gerakan yang anggun dan gemulai. gerakan tersebut menggambarkan rasa gembira dan sukacita atas kedatangan tamu. salah satu gerakan yang khas dari tari Paduppa adalah gerakan menabur beras. Gerakan ini bermakna sebagai tanda penghormatan kepada tamu dan juga dipercaya sebagai penolak bala atau gangguan roh-roh halus.

Tari Paduppa biasanya dipentaskan pada acara penting, seperti penyambutan tamu kehormatan, pesta adat, dan pernikahan. Tarian ini juga sering ditampilkan dalam acara kesenian dan budaya.

Contributor: Andi Akmal Hidayat

“Rasi” – Kampung Adat Cirendeu

Kampung adat cirendeu merupakan kampung adat yang berlokasi di Leuwigajah, Cimahi Selatan. Kampung ini, memiliki 50 kepala keluarga sehingga kurang lebih terdapat 800 jiwa. Memiliki luas 64 ha, 4 ha pemukiman dan 60 ha digunakan untuk pertanian sehingga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian bertani ketela. Penduduk kampung adat Cirendeu sangat konsisten dalam menjalankan kepercayaannya, dan terus melestarikan budaya dan adat istiadat secara turun menurun. Penduduk Kampung adat Cirendeu menjadikan singkong atau ketela sebagai makanan pokok yang disebut dengan rasi. Rasi sudah digunakan sebagai makanan pokok secara turun temuJamanl
Masyarakat kampung adat Cirendeu memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak menolak adanya perubahan zaman tetapi mengikutinya seperti penggunaan teknologi, televisi dan alat komunikasi.

Contributor: Ananda Putri Febryan

Upacara Hajat Bumi Pulo Majeti

Pada hari Rabu, 26 Juli 2023 telah dilaksanakan Upacara Hajat Bumi di Pulo Majeti yang melibatkan seluruh masyarakat yang tinggal di sekitarnya untuk menggambarkan ucapan syukur atas segala kenikmatan dan pelimpahan hasil panen yang luar biasa. Pada pelaksanaannya sangat menarik banyak penonton dari luar wilayah Pulo Majeti dan memeriahkan acara tersebut.

Hajat Bumi Pulo Majeti merupakan upacara tradisional di wilayah kota Banjar yang bertujuan sebagai bentuk penghormatan pada leluhur yang telah mewariskan hasil-hasil alam dan berbagai pedoman tentang bagaimana berprilaku, baik itu antara manusia–manusia, manusia–alam, dan manusia–Tuhan. Ketiga perilaku tersebut diwujudkan dalam bentuk perayaan hasil panen yang kala itu masih dilakukan per-individu (keluarga). Dalam perjalanan sejarah, inisiatif untuk menggabungkan perayaan hasil panen kemudian diwujudkan menjadi sebuah upacara tersebut. Hajat Bumi di Pulo Majeti sejak dahulu sudah ada, namun belakang oleh pemerintah dibuat lebih menarik dan bervariasi sehingga upacara adat Hajat Bumi ini lebih meriah. Perubahan dan penataan Hajat Bumi ini dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Banjar khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjar. Tentunya tujuan utamanya agar menjadi acara wisata di daerah Pulau Majeti yang dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, arena wisata dan sedikit-sedikit menghilangkan kebiasaan buruk yaitu pesugihan.

Hajat Bumi Pulo Majeti dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap apa yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Terutama atas nikmat terhadap hasil bumi selama satu tahun.Hajat Bumi diselenggarakan setiap 7 Muharram tiap tahunnya sebagai bentuk syukur masyarakat Pulo Majeti terhadap hasil pertanian terutama padi. Adapun isi atau rangkaian dari upacara Hajat Bumi Pulo Majeti ini diantaranya Mipit (panen padi), Jamasan (mencuci benda pusaka), Tawasulan, Kirab Tumpeng, Sawala, dan Hiburan berupa seni gondang, ronggeng, karindingan, kacapi suling, dan wayang golek.

contributor: Ananda Desya Fitria

Situ Sipatahunan

Situ Sipatahunan dengan ketinggian kurang lebih 700 mdpl di area permukaan 10 hektar dan kedalaman rata-rata 8 meter ini merupakan danau buatan yang diprakarsai oleh pemerintah pada tahun 1971 dan rampung pada tahun 1975. Lokasinya berada di Jl. Situ Sipatahunan, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Tujuan dibangunnya situ ini adalah untuk pengairan beberapa lahan persawahan di wilayah Kecamatan Baleendah. Hulu sungai Cigajah dan Cipancur adalah sumber airnya. Fungsi lain dari Situ Sipatahunan ini adalah air baku konsumsi warga dengan diperkaya oleh beberapa sumber mata air dari gunung yang berada disekitarnya (Gunung Kakapa, Saradan, Cadas Gantung, Cigupakan, Cisareni, Paman Jaimah. Keberagaman sumber mata air ini memberikan kontribusi besar bagi keberlangsungan ekosistem Situ Sipatahunan.

Sebelum adanya perhatian dari PemDa, tempat ini terbilang sangat disayangkan sekali. Karena, belum adanya akses jalan yang baik untuk menuju ke lokasi, tidak ada gapura atau sejenisnya sebagai penanda bahwa ini merupakan sebuah tempat wisata, bahkan di pinggiran Situ Sipatahunan ini sering dijumpai gundukan pembakaran sampah. Namun, seiring berjalannya waktu. Tepat pada tahun 2015 PemDa mengecap Situ Sipatahunan ini menjadi sebuah situs, alasannya tiada lain sebab sangat banyak kegiatan bertajuk warisan kebudayaan yang dilakukan di Situ Sipatahunan ini dan mulai mendapatkan perhatian lebih. Dengan begitu, Situ Sipatahunan ini menjadi lebih elok terlihat. Maka dari itu PemDa membukanya sebagai lokasi wisata yang terbuka untuk umum. Beberapa pertunjukan seni yang sering diadakan ialah silat leutak, kaulinan barudak, jampana dodombaan, dan kebudayaan Sunda lain guna memeriahkan pesta rakyat.

Fakta unik lagi mengenai Situ Sipatahunan ini, ia mempunyai suatu rumah adat Sunda (Balé-Balé) yang difungsikan sebagai tempat serbaguna untuk kepentingan pejabat (Gegedén) pemerintah daerah. Selain itu masyarakat dapat menjadikan rumah adat tersebut sebagai tempat beribadah serta kegiatan yang berkaitan dengan pertanian.

Contributor: Akbar Juliana

Tarling

Kesenian tarling pada awalnya merupakan sebuah kebiasaan dan hobi yang dilakukan oleh sekelompok pemuda di daerah Indramayu. Ketika itu , pada sekitar tahun 1945-an, Djajana bersama kawan-kawannya sering berkumpul di sebuah warung kopi sampil memetik gitar dengan nyanyian klasik Dermayonan secara improvisasi. Ketertarikan masyarakat pada petikan gitas dengan diiringi tembang dermayonan membuat masyarakat sering meminta untuk dihibur pada waktu begadang baik ngobrol di warung kopi maupun ketika mengadakan kegiatan lain seperti dalam kegiatan pembakaran bata, dan sebagainya. Sebagai imbalannya, Djajana dan kawan-kawan hanya diberi rokok dan air kopi.

Dalam perkembangannya, gitar itu dipadukan dengan tiupan suling yang kemudian memberikan nuansa lain dari perpaduan kedua instrumen tersebut. Karena perpaduan kedua instrumen tersebut ternyata disukai masyarakat, maka kira-kira pada tahun 1950-an, Djajana bersama rekan-rekannya mendirikan kelompok musik yang diberi nama “Melodi Kota Ayu”.

Alat-alat yang digunakan oleh Djajana dan kawan-kawannya dalam kelompok musiknya di antaranya adalah gitar, suling, kendang kecil, dan gong buyung. Dengan semakin terkenalnya musik Djajana ini, maka pada tahun 1954 kelompok musiknya diangkat ke panggung –panggung rakyat dengan menambahkan beberapa alat musik seperti kendang besar, kecrek, tutukan dan satu set gong. Juga penambahan lain adalah hadirnya pesinden atau biduanita yang di ambil dari kesenian dombret.

Sementara itu, di daerah Cirebon, H. Abdul Adjib ikut meramaikan kesenian rakyat Cirebon dengan mendirikan grup kesenian yang diberi nama “Melodi Kota Udang “ yang langsung menjadi acara pokok di stasiun RRI Cirebon. Sejak saat itu, kepala studio RRI Cirobon memberi nama pada kesenian ini dengan nama Tarling, yang diambil dari kata gitar dan suling sebagai dua alat musik yang mendominasi pertunjukan kesenian tersebut.

Dengan munculnya jenis kesenian tarling sebagai kesenian baru dan dikenal oleh masyarakat luas (wilayah III Cirebon), Djajana pun di Indramayu mendirikan grup tarling dengan nama “Warga Budaya”. Rombongan tarling Djajana ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik dari sisi pertunjukan maupun perlengkapan keseniannya. Beberapa karya lagu tarling yang diciptakan Djajana diantaranya Banyu Mata Mbrebbes Mili, Yula-Yuli, Padang Wulan, Pasrah Pati Njaluk Urip dan lain-lain. Di samping lagu, diciptakan pula kiser (lakon yang dinyanyikan ) seperti Kiser Saida Saeni, Pegat Balen, Lahir Batin dan lain-lain.

Sementara itu, H. Abdul Adjib pun di Cirebon mendirikan kelompok tarling “Putra Sangkala” dengan dukungan ayahnya. Dalam pertunjukannya, kelompok ini menyajikan lagu-lagu Kiser ciptaan Palimanan, Kabupaten Cirebon, muncul pula grup tarling “Karya Muda” yang dipimpin oleh Sunarto Martaatmaja. Grup tarling ini menyajikan pertunjukan lakon Kiser dengan beberapa pelaku dalam bentuk sebuah drama pendek.

Pada tahun 1965, grup “Karya Muda “ berganti nama menjadi grup “Proletar”, akan tetapi nama ini berlangsung tidak lama, karena pada waktu itu meletus peristiwa G30S/PKI dan nama itupun berubah menjadi “Nada Jaya”. Selanjutnya, grup ini bergabung dengan “Tarling Asmara Budaya” yang dipimpin oleh Barnawi di Desa Wangunarja, Kecamatan Klangenan, cirebon, dan nama dari kedua grup tarling ini dilebur menjadi “Nada Budaya” hingga saat ini.

Pada tahun 1966, grup tarling “Nada Budaya” dan “Putra Sangkala” berkembang pesat dengan banyaknya menciptakan lakon-lakon drama dalam setiap pertunjukannya. Pertunjukan tarling menjadi sangat populer di kalangan masyarakat Cirebon dan Dermayon, sehingga memicu bermunculannya grup – grup tarling baru di daerah Cirebon dan Indramayu. Beberapa lakon y ang sangat populer dalam pertunjukan tarling diantaranya Marta Bakrun, Baridin, Saidah Saeni dan lain-lain.

Hingga saat ini kesenian tarling masih tetap diminati masyarakat Cirebon dan Indramayu, terutama dalam bangunan lkon yang diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat sekitarnya. Namun, dewasa ini, bebera segi pertunjukannya sudah mengalami perkembangan modern, terbukti denagn adanya sentuhan-sentuhan musik dangdut dan peralatan-peralatan musik modern, yang biasanya juga mendominasi sebuah pertunjukan tarling.

Yang cukup mencengangkan, tarling di daerah Cirebon dan Indramayu sekarang sedang dalam proses berkembang menjadi dua model pertunjukan. Pertama, perntunjukan yang menampilakan lakon; dan kedua; pertunjukan yang secara utuh dikemas dalam bentuk musik (terutama musik dangdut Cirebonan). Dengan demikian perkembangan kesenian tarling merupakan contoh nyata betapa tingginya kreativitas masyarakat di Tatar Sunda in.

Sumber: Enoch Atmadibrata,”Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat”, Disbudpar-Yayasan Kebudayaan Jaya Loka,Bandung,2006