Gending Karesmen

Gending karesmen merupakan salah satu bentuk sajian teater rakyat di Tatar Sunda. Kesenian ini dirintis sejak taun 1927 oleh R.Memed Kartabrata. Perkembangannya telah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang. Ini dapat dilihat dari sejarah yang melatar belakangi pertumbuhannya.

Gending karesmen merupakan perpaduan dari beberapa unsur seni lain seperti seni sastra, yakni berupa naskah cerita atau lakon dalam bentuk prosa liris, yaitu karya sastra yang dapat diungkapkan melalui nyanyian. Dialog para pemain gending karesmen di panggung disampaikan dengan menyanyi (sekaran). Lakonnya sendiri mengambil dari cerita pantun dan legenda dipergunakan seperangkat gamelan salendro atau pelog. Lagu yang disajikan disesuaikan dengan alat tabuh yang dipergunakan.

Bila menggunakan kacapi suling atau degung, lagunya mengambil lagu-lagu Cianjuran (Tembang Sunda), pupuh buhun dan lagu degung (ageung). Kalau menggunakan gamelan pelog atau salendro, lagu-lagunya mengambil lagu tradisi, kliningan atau ketuk tilu, dicampur dengan lagu gubahan baru.

Dalam hal perbaduan itu terjadi dengan seni rupa, unsur-unsur yang perlu penanganan seni rupa terdiri dari: tata busananya, tata riasnya, dan tata grafisnya. Sedangkan perpaduan dengan seni tari diperlukan jika dalam pertunjukan gending karesmen terdapat adegan tertentu yang tidak dapat disampaikan dengan dialog, seperti suasana di Kahiyangan (Para Pohaci dnegan Guriang).

Seni akting oleh setiap pemain sudah tentu diperlukan sesekali sebagai ungkapan perasaan, agar tidak menjemukan orang yang menonton. Terutama sebagai penuntun imajinasi bagi para penonton. Untuk seni lain yang juga diperlukan adalah seni penataan suara dan penataan lampu atau lighting. Tata suara yang baik sangat mutalak diperlukan karena dialog para pemain harus terdengar jelas oleh para penonton. Juga tata lampunya sebagai penunjang suasana pentas tidak boleh tidak harus ditangani dengan baik.

Oleh karena itu, dalam penyajian pertunjukan gending karesmen diperlukan orang-orang yang berfungsi sebagai : 1. Penata naskah; 2. Penata lagu; 3. Penata gending; 4. Penata tari; 5. Penata lampu; 6. Penata rias; 7. Penata pentas. Para penata tersebut dikoordinir oleh seorang sutradara.

Tema dan isi cerita gending karesmen biasanya mengambil dari cerita pantun Sunda, cerita legenda atau sempalan kejadian yang ada di masyarakat Tatar Sunda, diantaranya: Lutung Kasarung, Mundinglaya dikusumah, Sangkuriang, dan Nyi Pohaci Sanghiyang Sri. Lagu yang dipergunakan kebanyakan mengambil dari tembang Sunda, namun ada pula gending karesmen yang sepenuhnya kawih Sunda, yaitu karya H. Koko Koswara atau Mang Koko, mantan Direktur Konservatori Karawitan (kokar) Bandung atau SMKI yang sekarang SMKN 10 Bandung. Karena lagu-lagunya, bahkan pun liriknya, merupakan hasil ciptaan sendiri, maka hasil ciptaan tersebut ditata dengan apik.

Dalam karyanya tersebut, Mang Koko selalu memasukkan unsur-unsur guyonan, sehingga enak untuk ditonton ataupun didengar, dan tentunya tidak menjenuhkan, baik bagi para penonton ataupun didengar, dan tentunya tidak menjenuhkan, baik bagi para penonton, pendengar maupun bagi para pemain itu sendiri. Gending karesmen ciptaan Mang Koko di antaranya Si Kabayan jeung Raja Jimbul, Nyai Dasimah dan Pangeran Jayakarta.

Waditra yang dipergunakan dalam gending karesmen adalah kecapi siter atau kecapi parahu (kacapi indung), suling atau rebab, goong, dan kendang. Tetapi, bisa juga menggunakan perangakat waditra lengkap seperti gamelan degung atau gamelan salendro, gamelan pelog. Laras yang dipergunakan yaitu laras pelog, salendro, degung, mataraman, sorog atau madenda (na atau ti).

Cerita gending karesmen yang telah dipentaskan antara lain Lutung Kasarung, Mundinglaya Dikusumah dan Si kabayan.

Sumber: Enoch Atmadibrata,”Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat”, Disbudpar-Yayasan Kebudayaan Jaya Loka,Bandung,2006

Ciawian

Ciawian merupakan salah satu wanda dalam tembang Sunda. Wanda Rarancagan dari Cianjur disebut Cianjuran, dari Garut disebut Garutan atau karena penggubahnya berasal dari Cigarir limbangan, kabupaten garut, maka disebut pulan Cigawiran, dari Susudang disebut Sumedangan dan dari Cirebon disebut Cirebonan.

Ciri yang terdapat dalam setiap wanda rarancagan adalah liriknya serikat pada Pupuh Tujuh Belas, walau kebanyakan hanya sekar ageing saja, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula. dalam sekar bebas, laras yang dipergunakan selain laras pelog juga laras lainnya. Iringannya bebas, tidak terikat dengan wiletan. Pangkat lagu diciptakan dengan waditra yang disenbut masieup.

Lagu-lagunya diantaranya adalah Bayubud, Liwung, Kentar Ajun, Kentar Cisaat, Kentar Mirign, Kentar Rarawita, Wani-Wani, dll.

Sumber: Enoch Atmadibrata,”Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat”, Disbudpar-Yayasan Kebudayaan Jaya Loka,Bandung,2006

Tarawangsa

Kecapi tarawangsa adalah bentuk seni pertunjukan yang merupakan perpaduan antara tabuhan atau petikan kecapi dengan gesekan tarawangsa (semacam rebab). Jenis musik tradisional ini terdapat di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang.


Waditra yang digunakan dalam kacapi tarawangsa terdiri dari : Kacapi parahu, jukung, gelung, bangkung, kacapi indung atau jentreng, tarawangsa atau
ngekngek. Kesenian kacapi tarawangsa selain dipergunakan sebagai alat tabuh untuk mengiringi acara-acara yang bersifat upacara diataranya seren tan, ngaruwat, netepkeun pare (memasukan padai ke lumbung) dsb. Lagu-lagu yang disajikan dalam kacapi tarawangsa yaitu Pangapungan, Rancagan, Panganginan, Pamapag, Lalayaran dan Bangbalikan. Di Rancakalong selain tabuhan saja yang disajikan tarian yang disebut Ibing Tarawangsa, Ibing Ngekngek, Ibing Sampyung atau Ibing Jentreng.

 
Berbeda dengan yang terdapat di Banjaran, Kabupaten Bandung, di sini kecapi tarawangsa hanya menjadikan tabuhan saja. Lagu yang dibawakan adalah Pangrajah, Paniman, Bajing Luncat, pangapungan Bojong Kaso dan Cungkleuk.
 
Sumber: Enoch Atmadibrata,”Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat”, Disbudpar-Yayasan Kebudayaan Jaya Loka,Bandung,2006

Jenaka Sunda

Jenaka Sunda merupakan jenis seni suara Sunda Jawa Barat. Pertunjukannya menitik beratkan kepada unsur karawitan, yaitu seni suara dan gendingnya. Selain menyuguhkan seni suara yang liriknya diselingi humor (jenaka), dalam percakapannya juga sert gerak-gerik pemainnya terselip humor pula.
 
Seni ini merupakan hasil kreativitas seorang seniman lokal yang dipanggil Menir Muda. Ia keturunan Menir atau Bang Menir. Kata Menir dalam bahasa Belanda artinya Tuan. Mungkin yang dimaksud dengan Menir Muda adalah Tuan Muda karena Menir yang tua adalah Bang Menir itu.
 
Menir Muda bukan saja sebagai penyanyi tetapi juga merupakan pemetik kecapi yang terampil. Ia bermain sendiri sekitar tahun 1992. Dalam perkembangannya, anggota kesenian jenaka Sunda kemudian ditambah dengan seorang pemain biola atau piul. Setelah itu, masih juga mengalami perubahan yaitu dengan bertambahnya jumlah waditra serta pemainnya. Di antara tambahan itu tercatat pemetik kecapi, dua orang, lalu penggesek biola dan juru kawih masing-masing seorang.Perkumpulan jenaka Sunda modern di Jawa Barat antara lain Eddio dan kawan-kawan dari Cicalengka, Kabupaten Bandung. Kemudian perkumpulan jenaka sunda “empat E” (Enang, Entoh, Emen dan entoy) dari Kota Bandung, yang lainnya adalah perkumpulan jenaka Sunda dari Kampung Cikabuyutan, Desa Hegarsari, Kecamatan Banjar, Kabupaten Ciamis, pimpinan Enjen.
 
Jenaka Sunda piminan Enjen merupakan perkumpulan Jenaka Sunda yang malang melintang pada zamannya. Apalagi ketika perkumpulan ini ini menambah kelengkapannya dengan kecapi biola Mang Adang (Tunanetra) yang dalam pertunjukannya menekankan gerakan-gerakan keterampilan menggesek biola yang diselingi dengan gerakan gurauan (ngabodor).
 
Waditra yang dipergunakan kesenian jenaka Sunda adalah dua buah kecapi, satu buah biola yang (kadang-kadang tidak) dimainkan oleh satu orang pemain kecapi rincik dan satu orang juru kawih ( biasanya wanita). Pakaian yang dikenakan adalah jas untuk pria dan kebaya untuk wanita. Pakaian yang dikenakan adalah jas untuk pria dan kebaya untuk wanita.
 
Lagu-lagu yang disajikan antara lain : Bendrong, Kidung Rengoong Gancang Panglima, Senggot, Leang-leang, Sukabumian. Lagu-lagu ini dinyanyikan oleh penyanyi pria. Sedangkan bagi penyanyi wanita lagu-lagu yang dilantunkan adalah : Hareupeun Kaca, Dikantum Kakasih, Surat Kayas, Leungiteun Kakasih dan sebagai lagu penutup ditembangkan lagu Jiro.
 
Sumber: Enoch Atmadibrata,”Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat”, Disbudpar-Yayasan Kebudayaan Jaya Loka,Bandung,2006

Tayuban

Tayuban atau Tayub merupakan seni tradisional yang terdapat hampir di seluruh daerah di Tatar Sunda. Gerak tariannya belum berpola, sehingga para penari bebas melakukan tariannya asalkan sesuai dengan irama tabuhan yang mengiringinya. Spontanitas gerakan tari yang murni terlihat dalam ibing tayub ini, dimana para penari bersikap dan bergerak menurut kemampuan dan keterampilan mereka masing-masing

 

Mernurut Pak Sabdani Cadranatasuara dan Pak Subadra, dua tokong ibing tabuh di desa Beber, Kecamatan Linggung, Kabupaten Majalengka tayuban telah ada di Desa Beber sejak tahun 1927. Tayuban ini bermula dari kalangan para menak atau priyayi (bangsawan sunda) atau orang-orang dari lingkungan Pendopo dan para kuasa pabrik. Akan tetapi, dalam perkembangannya tayuban mereabak sampai kepada buruh-buruh pabrik dan masyarakat di luar Kabupaten (lingkungan kerabat bupati). Dengan demikian, maka tayuban bukan lagi milik para menak melainkan milik masyarakat secara luas.

 

Waditra yang digunakan dalam tayuban yaitu:


1. Kedang
2. Gambang
3. Boning
4. Saorn I
5. Saron H
6. Panarus
7. Ketuk
8. Kecrek
9. Kenong suling
10. Rebab

Cara penyajian pertunjukannya yaitu sebagai berikut :


 Tatalu yang merupakan pemberitahuan bahwa pertunjukanakan segera dimulai. Beberapa orang ronggeng menari sambi membawa baki (talam) berisi sampur dan kemudian diberikan kepada salah seoran gtamu terhormat.
 Ketika para tamu sedang menari dengan ronggeng, apabila ada salah satu diantara mereka ada yan gberminat untuk menari dengan ronggeng lain, maka ia harusmeminta izin terlebih dahulu pada penari yang pertama dan ini disebut mairan.
 Setelah selesai menari, para tamu memberikan sejumlah uang kepada para ronggeng. Atau, kalu tidak diberikan langsung, uang itu boleh dimasukkake tempat khusus yang disebut bokor dan ini disebut masak.

Tari Keurseus

Tari Keurseus merupakan tari putra yang erat kaitannya dengan tari tayub, yaitu tari pergaulan di kalangan menak (bangsawan) Sunda. Tari keurseus disusun dari gerak-gerak tari tayub yang dirapikan dan dipolakan secara khusus. Dalam tayub, gerak tarinya tidak mempunyai pola khusus, baik menurut kehendak maupun perbendaharaan gerak masing-masing penari. Oleh karena itu, tari tayub yang bebas kadangkala tidak terkendalikan, sehingga tayuban dijadikan sebagai pertemuan silaturahmi antar penari dan menjadi arena perebutan ronggeng sambil mabuk oleh minuman keras.

 

Sekelompok penggemar nayub tidak menyukai hal yang demikian, sehingga mereka berusaha untuk menertibkan nayuban serta tariannya. Demikian pula minuman keras dilarang sampai memabukan serta ronggeng pun disuruh duduk saja dan tidak perlu menari. Tarian mulai diberi struktur tertentu dalam gerakannya, sehingga terwujud sebuah tarian yang disebut ibing patokan, Salah seorang pelopornya adalah kerabat Bupati Sumedang, yaitu R. Ganda koesoemah, yang di kalangan seni tari Sunda dikenal dengan nama Aom Doyot. Pada waktu itu ia camat leuwilian, Bogor.

Jaipong

Jaipongan adalah sebuah genre kesenian yang lahir dari kreativitas seorang seniman Bandung, yakni Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah ketuk tilu membuat seorang Gugum Gumbira mengetahui dan mengenal betul perbendarahaan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada kliningan / bajidoran atau ketuk tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memberikan inspirasi untuk mengembangakan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama jaipongan.

 

Tetapi, sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada pengaruh yang melatar belakangi bentuk tari pergaulan tersebut. Di Jawa Barat, misalnya, tari pergaulan merupakan hasil dari pengaruh dansa ball room, dan biasanya tari-tari pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran (pria yang suka main perempuan). Ronggeng dalam tari pergaulan tak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul.

 

Dalam penyajiannya, jaipongan gaya kaleran tersebut secara kronologis tahap-tahapnya adalah sebagai berikut :
  1. Tatalu
  2. kembang Gadung
  3. Buah Kawung Gopar
  4. Tari Pembukaan (ibing pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau sinden tatandakan (sinden yang tidak menyanyi melainkan menarikan lagu sinden/ juru kawih)
  5. jeblokan dan jabanan, yang merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer (memberikan) uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan salah seorang penonton (bajidor).

Bajidoran

Bajidoran terdapat di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang dan Purwakarta. Bajidoran berasal dari kata bajidor yaitu sebutan bagi penari pria atau jawara dalam rombongan bajidoranitu sendiri.

 

Pertunjukannya dilaksanakan di atas panggung atau di halaman rumah atau di tempat terbuka lainnya. Seperti halnya ketuk tilu di daerah lain di Tatar Sunda, bajidoran juga menampilakan beberapa ronggeng dan salah satunya merupakan primadona atau sri panggung bagi rongongan bajidoran bersangkutan.

Tanjidor

Tanjidor terdapat di Kabupaten Bekasi (Kecamatan Lemah Abang) dari Karawang. Terutama sebelum 1918, Bekasi dikenal memeiliki banyak rombongan jenis kesenian ini. Mengingat karawang dan Bekasi berbatasan dengan DKI Jakarata, tidak aneh apabila kehidupan masyarakatnnya dan kebudayaannya mendapat pengaruh dari daerah ibu kota itu. Bekasi berada hamper di pesisir Utara Pulau Jawa. Dengan demikian, wujud kebudayaannya pun berbeda dengan masyarakat di pedalaman Tatar Suda yang tidak mendapat pengaruh dari pendatang yang berasal dari Pulau Jawa melalui pantai.

 

Para pemain tanjidor memainkan peralatan seperti :suling, tenor, trombone, bass, tamborin kecil, tamborin besar , simbal, saron 1 dan 2 , gender, kiecrek, boning, gambang, gong, kendang dan beberapa orang sebagai juru kawih/ juru sekar. Jadi, kesenian musik ini terdiri dari bunyi-bunyian yang berasal dari alatl-alat tersebut di atas. Tamborin kecil kalau dipukul menimbulkan bunyai tan-tan..tan..tan..tan..tan..tan.. tan.., simbal berbnyi jing..jing..jing..jing..jing..jing..jing..,sedangkan tamborin besar berbungi dor..dor..dor..dor.ldor..dor..dor..dor..dor..dor. Dari bunyi-bungyi itu, masyarakat memberi nama kesenian ini dengan istilan tanjidor.

Surak Ibra

Surak Ibra terdapat di Kampung Sindangsari, Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut serta di Kabupaten Tasikmalaya. Kesenian surak ibra juga sering disebut seni boboyongan. Mengapa kesenian ini di senbut surak ibra?

Asal-usul kesenian ini bermula dari seorang tokoh silat yang be3rnama Ibra. Ia pesilat legendaris yang hidup pada awal aad ke-19 di Kampung Cipanas, Desa Wanakerta, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut.